Komik dan Dilema Seorang Komikus
Dalam membuat komik, ada sebuah pertentangan klasik: cerita atau gambar? Serupa dengan pertentangan pada dunia
advertising:
copy (tulisan) atau
visual (gambar)? Biasanya, ada semacam
trade-off antara
cerita dengan gambar bagi seorang komikus. Antara komik dengan cerita
bagus tapi gambarnya biasa/kurang bagus, atau komik dengan gambar yang
bagus tapi dengan cerita yang dangkal atau biasa-biasa saja.
Kalau di luar negeri (misal Amerika dan Eropa), tugas membuat cerita
dan menggambar dibedakan. Bahkan ada orang yang bertugas untuk menulis
balon-balon kata. Oleh karena itu, produk komik mereka adalah sebuah
hasil kerja tim yang apik.
Komik adalah medium yang unik, ia bisa diciptakan oleh perorangan
ataupun secara tim. Tapi kembali ke pertanyaan semula: mana yang lebih
penting antara cerita dengan gambar?
Tentu jawaban idealnyanya adalah dua-duanya. Bagaimana jika disuruh memilih?
Nah, disinilah kuncinya. Pilihan tersebut kembali kepada setiap
pribadi sang komikus. Komikus bukanlah suatu profesi yang mengandalkan
bakat. Dalam setiap pekerjaan bakat hanya menyumbang 10%, sedangkan
sisanya adalah kerja keras dan do’a. Sehingga bagi komikus yang belum
memiliki kemampuan menggambar yang baik, ia bisa menutupinya dengan
menciptakan sebuah komik dengan cerita y`ng bagus sambil perlahan-lahan
memperbaiki kualitas gambarnya.
Lalu apakah faktor cerita menjadi yang nomor satu?
Menurut saya: Iya! Cerita memegang posisi utama jika komik yang kita
buat memang digunakan sebagai medium untuk bercerita (komik sebagai
hiburan dan alat bercerita) [1]. Tetapi jika komik yang kita buat
ditujukan sebagai alat ekspresi bebas yang menonjolkan teknik
efek-visual, sudah barang tentu kualitas gambar yang harus diutamakan.
Berikut ada contoh komik yang memiliki kekuatan pada unsur cerita: