Angka tahun menunjukkan 1319. Waktunya malam hari. Tempatnya Majapahit. Rajanya Jayanegara.
Malam itu suram. Di atas tembok gerbang tampak seorang prajurit Bhayangkara mengenakan topeng. Sambil memegang busur – yang anehnya – tanpa satu pun persediaan amunisi an`k panah di punggungnya, ia tercengang menyaksikan kota yang terbakar. Rupanya di tahun itu, Kuti bersama enam orang Dharmaputra pelindung Jayanegara memberontak. Ibu kota dikuasai, Jayanegara dicari. Namun malang, karena siasat para anggota Bhayangkara pelindung Majapahit agaknya lebih lihai dibandingkan perburuan tanpa arah yang dilakukan para anggota Dharmaputra, Jayanegara tidak kunjung ditemukan.
Di istana, Kuti gusar karena raja tak kunjung ditemukan. Sambil menduduki singgasana di istana yang megah dengan gagahnya, ia risau menanti kabar dari saudara-saudaranya. Di tengah lautan kecemasan, tentu ia berharap kawan-kawan Dharmaputra lainnya bisa segera menangkap sang raja. Di istana itu pula, Tanca menemaninya.
Kuti….orang satu ini amat berbeda karakterisasinya dibandingkan yang bisa kita temui di komik Dharmaputra Winehsuka. Kalau di komik itu ia terkesan sebagai seorang yang penyabar, berwibawa, dan sangat menjunjung tinggi kesetiaan kepada rajanya; maka di Gajah Mada ini, ia kelihatan sebaliknya: bengis, tidak sabaran, dan sudah lupa akan kalimat “satya bela bakti prabu” sebagai bukti sumpahnya kepada raja. Sementara Tanca…ah…orang ini susah ditebak sifatnya. Di komik Dharmaputra, ia tak diberi porsi memadai untuk mengembangkan sifat dan karakternya. Ia cuma disebut sebagai tabib yang tidak hanya mahir dalam mengobati, namun juga membunuh. Hanya saja bagi saya, di komik Gajah Madaini ia digambarkan sebagai seorang pria yang dingin, susah diprediksi apa maunya. Sebab pada kenyataannya, di satu pihak ia tidak menentang ketika Kuti dan komplotannya mengkhianati junjungannya. Namun di lain pihak, ia dikesankan mensyukuri lolosnya Jayanegara dari tangan Kuti. Sikap Tanca yang tampak mendua ini oleh Alex diombang-ambingkan, hingga posisinya tidaklah terlihat jelas dalam karya ini. Pembaca tidak serta merta bisa menilai Tanca berdiri di pihak yang mana. Agaknya Alex memang sengaja membiarkan para pembaca memainkan imajinasi mereka untuk menebak di mana sebenarnya posisi Tanca dalam kekisruhan di Majapahit pada tahun itu.
Beralih ke segi penyajian cerita. Komik ini secara gamblang menyajikan cerita dengan berbasis pada pemberontakan Kuti yang secara faktual memang tepat terjadi di tahun 1319. Berbeda dengan Dharmaputra, komik ini tidak banyak menyajikan adegan laga, walaupun sebenarnya panel-panel yang menyajikan hal semacam itu sudah dihidangkan. Namun pembaca yang sudah telanjur terlebih dahulu akrab dengan Dharmaputra dan mengharapkan adanya hidangan dalam bentuk adegan laga barangkali akan kecewa ketika mendapati para anggota Bhayangkara yang dalam beberapa halaman sudah sempat ditampilkan tinggal berhadap-hadapan dengan anggota Dharmaputra malah sama sekali tidak menyajikan pertarungan!
Spoiler
for Gambar adegan Bhayangkara vs Dharmaputra
Api telah tersulut, bensin tinggal dituangkan. Sayang sekali, sang komikus tidak ktnjung menuangkan bensin untuk membesarkan nyala api pertarungan di antara kedua kubu yang saling berseberangan itu. Anda yang penasaran akan pertarungan tersebut barangkali berharap di chapter berikutnya sang komikus mau berbaik hati untuk melanjutkan pertarungan yang tertunda. Meskipun ketika membalik halaman demi halaman selanjutnya, panel-panel berkelanjutan yang berisi adegan pertarungan antara Gajah Mada dan Tanca cukup untuk sedikit memuaskan dahaga pertarungan, kendati apa yang mereka berdua lakukan bagi saya hanyalah sekadar pemanasan.
Harus pula diakui, beberapa plot cerita memang masih menimbulkan tanda tanya karena pembaca tidak mendapat cukup informasi pendahuluan yang memadai. Sebagai contoh, pembaca tentu akan bertanya-tanya siapakah sebenarnya Tunggadewi dan Rajadewi, dua orang perempuan yang telanjur direpresentasikan sebagai tokoh-tokoh kunci dalam karya ini? Benarkah Kuti dan anggota Dharmaputra lainnya memberontak kepada raja hanya demi alasan memuluskan keinginan Kuti dan Tanca untuk meminang kedua perempuan itu? Ataukah ada sebab lain yang membuat Kuti memberontak?
Di sini, saya memiliki kesan bahwa Alex memilih untuk membentuk alur cerita dengan cara menunjukkan akibat sebelum sebab. Pembaca hanya ditunjukkan serentetan kejadian pemberontakan yang dilakukan oleh Kuti tanpa mengetahui sebab mengapa pemberontakan itu terjadi. Pemilihan alur semacam ini sah-sah saja dilakukan dengan catatan apabila rangkaian plot disuguhkan tidak secara kronologis. Akan tetapi saya cenderung berpendapat bahwa komik ini memhliki alur kronologis di mana tiap adegan bergerak maju (secara logika waktu penceritaan), dan bukan bergerak mundur melawan waktu. Sehingga agak aneh apabila Alex malah memilih untuk menahan sebab, dan membiarkan akibat mengalir. Oleh karena itu, tentu sangat disayangkan pula mengapa Alex memilih untuk tidak menyajikan informasi pendahuluan yang agaknya berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Jika sebab dihadirkan terlebih dahulu, tentu bolong-bolong penceritaan bisa dihindari.
Dari segi teknik penyajian visual, timing, maupun sajian sudut pandang (komposisi) antar satu panel ke panel lainnya masih tetap sama seperti yang Alex sajikan dalam Dharmaputra. Alex tahu kapan saat yang tepat untuk melakukan close up adegan, memberi sentuhan suasana medium shot, dan menyajikan gambar tokoh yang direkam dalam keadaan full figure jika memang dibutuhkan. Walaupun masih ada kekurangan kecil di beberapa panel adegan, seperti ketika Gajah Mada bertindak melindungi Jayanegara dari serbuan pisau-pisau Tanca, Alex tidak memberikan timing yang cukup untuk menyajikan ruang sela antara panel adegan ketika Tanca melemparkan pisaunya sampai di titik ketika Gajah Mada mendorong sang raja menjauh dari medan pertarungan. Adegan itu agaknya digarap terburu-buru sehingga tindakan Gajah Mada yang mendorong Jayanegara malah tidak terlihat sebagaimana mestinya.
Spoiler
for Mada vs Tanca
Di adegan itu, timing yang dihadirkan tidaklah cukup memadai, terlalu singkat untuk menggambarkan bahwa tindakan yang dilakukan Gajah Mada itu memang dilakukan sebagai upaya untuk mendorong sang raja. Efek gerak yang dihadirkan pun tidak cukup membantu. Pembaca bisa saja menganggap bahwa Gajah Mada berlari menjauhi, dan bukan mendorong sang raja. Meskipun berkat balon teks yang berbunyi: “waaa…kenapa kau mendorongku”, pembaca dibantu untuk menemukan alasan bahwa sang bekel memang benar-benar sedang mendorong raja untuk menjauh.
Sebagai sebuah komik yang mengangkat tema Majapahit di era Jayanegara, cerita yang disuguhkan memang terasa kurang lengkap. Satu periode pemberontakan yang dipakai sebagai basis cerita tidaklah cukup memadai, terutama bila dikaitkan dengan masih munculnya antologi pertanyaan yang menggugat logika di seputar plot yang dihadirkan. Akan tetapi sampai ketika komik ini mencapai bagian akhir, saya justru merasa babak belur melihat karakter sang prabu Jayanegara yang di komik ini dicitrakan sebagai seorang raja bodoh, penakut, kekanak-kanakan, dan karena itu pula, kurang berwibawa. Walau begitu, tampaknya memang di setiap masa, walau zaman terus berganti, sementara roda takdir selalu berputar; akan selalu ada pemimpin dengan sifat yang demikian. Dan meskipun sang pemimpin itu payah, akan selalu ada pula bawahannya yang terus bersikap setia kepada junjungannya. Walau belum diberi porsi yang pas sebagai tokoh utama, Gajah Mada merupakan representasi bawahan yang setia kepada raja. Tidak peduli sekalipun sang raja itu bodoh, dia akan tetap ada di sana melindunginya.
0 komentar:
Posting Komentar